Terkadang kita tidak bisa membedakan kapan kita membutuhkan malu & takut dan kapan malu & takut itu justru menjadi hambatan untuk kita.
Beberapa kali dalam perjalanan ini, dan mungkin juga perjalanan kita semua, kita merasa malu & takut akan satu hal, seseorang, sebuah kondisi, diri sendiri, dan tentunya kepada-Nya.
Seberapa besar batas kepantasan yang kita miliki untuk malu & takut pada-Nya?
Dengan waktu yang tersia-siakan, mulut yang tak terjaga dari dusta kepada-Nya, nafsu yang tak jarang menjerumuskan kita, iman yang lebih sering turun daripada naik, kesabaran yang dengan “sok tau” kita nyatakan berbatas padahal kesabaran tidak dicipta berujung tanpa ikhlas, segenap congkak yang membuat setiap orang kita sebut banyak bicara padahal hakikinya saling mengingatkan untuk kebaikan. Dan dengan segenap dosa yang terlampau besar untuk sebentuk tubuh yang terlalu kecil jika kita mampu mendongak untuk melihat semesta ciptaan-Nya……apakah kita masih punya batas malu & takut kepada-Nya?
Sungguh, tidak ada malu & takut yang melebihi kepada-Nya.
Namun apakah kemudian Dia berhenti mengasihi kita (secara pribadi) sebagai hamba?
Gusti Allah ora pernah sare, kalimat itu yang terngiang dalam benak ketika air mata ini menetes mendapati bahwa masih, dan akan selalu, ada jalan untuk setiap persoalan yang kita hadapi. Bahwa Dia tidak pernah luput atas penglihatan-Nya kepada kita.
Dalam termenung suatu ketika saya merasa malu & takut yang teramat sangat kepada-Nya.
Demi mendapati bahwa masalah yang saya hadapi seolah tidak seorang pun dapat membantu, selayak setiap orang hanya mampu memojokkan bahwa saya yang harus menyelesaikan sendiri masalah tersebut, sementara untuk memohon kepada-Nya saya merasa terlalu “kotor” untuk hanya sekedar menundukkan kepala didepan-Nya sekalipun. Dan apabila syetan telah menggoda, maka diri ini merasa bahwa apabila diawali lagi untuk membersihkan diri sekarang untuk sekedar merasa pantas untuk meminta kepada-Nya, maka seolah kita merasa lebih hina mendapati diri yang hanya bisa taat manakala mengharap manfa’at. Sungguh sejatinya itu adalah bentuk lain dari kecongkakan seorang hamba, padahal di hadapan Tuannya, hanya Dia yang berhak untuk sombong.
Berangkat dari kebimbangan itu, masalah satu per satu terurai seiring dengan air mata yang menitik setiap kali bersujud memohon pada-Nya.
Dan dengan semudah membalikkan telapak tangan, Dia memberi apapun yang kita minta bahkan yang tanpa suara sekalipun.
Subhanallah, walhamdulillah, wa la ilaha illallahu, Allahu Akbar……
-amru nofhart-