Dulu, semasa saya masih belajar berjalan, beliau adalah sosok single-parent yang kesetiaannya jauh melampaui eranya. Beliau mengumpulkan ke-enam putra-putrinya yang lima diantaranya sudah berkeluarga dan sudah beranak satu dalam satu bangunan besar tanpa paku yang kami sebut rumah joglo. Ya, “mangan ora mangan sing penting kumpul” nampaknya sangat dipegang teguh. Hingga saya dan beberapa sepupu yang terlahir dalam rumah besar itu, mampu menikmati indahnya kebersamaan, guyub meski dalam keterbatasan.
Ketika beberapa cucunya, termasuk saya, sudah mulai harus mengenal bangku SD beliau pun tak pernah kehilangan peran. Dengan kondisi yang ada dia mendidik kami semua menjadi pekerja keras.
Pagi sebelum subuh kami berlima bangun untuk membantunya menyiapkan nasi megono beserta seluruh lauknya sebagai dagangan di pagi hari. Tangan-tangan kecil kami mengerjakan apapun yang bisa kami kontribusikan; mengupas nangka, memarut kelapa, mengiris bawang merah dan bumbu lainnya. Hingga semua dari kami memiliki “kenal lahir” berupa goresan luka akibat pisau yang menyayat ujung jari kami yang luput dari pengamatan mata kami yang masih terhinggapi kantuk. Sebelum adzan subuh berkumandang, maka semua dagangan harus sudah siap di sebuah lincak di depan rumah joglo kami. Dan, Sego Megono Mak Rasumi pun siap menyapa para pelanggan.
Tiba waktunya berangkat sekolah, kami pun berbaris di belakangnya yang sedang sibuk melayani pembeli. Di selanya kami mendapat kepingan uang logam sebagai hasil jerih payah kami dini hari tadi, untuk uang saku kami. Setelah mendapat uang saku kami pun menyalami beliau dan berangkat ke sekolah. Diusapnya ubun-ubun kami seraya mengucap doa semoga kami diberi kejernihan fikir dalam belajar sehingga memperoleh ilmu yang bermanfa’at untuk masa depan kami yang lebih bermartabat. Sebuah ritual yang kami selalu banggakan kepada teman-teman kami yang tak punya nenek sehebat beliau.
Berangsur masa, anak-anaknya pun mulai memisahkan diri dengan membangun rumah sendiri untuk setiap keluarga. Meski masih dalam satu blok, namun rumah joglo itu pun mulai terasa sepi. Dagangannya pun mulai beliau kurangi karena faktor usia yang tak lagi memungkinkan. Hingga akhirnya aktivitas kesukaannya itu pun harus beliau hentikan karena penyakit yang dideritanya.
Kemarin, setelah sekian lama hanya kudengar kabar dari tempat perantauan, akhirnya kulihat kondisinya yang benar-benar telah berbeda. Meringkuk dengan tubuh yang hampir kehilangan daging. Hanya tulang yang terbungkus keriput kulit yang kian mempertegas udzur usianya yang telah melampaui 80 tahun. Gerak tubuhnya hanya sebatas berguling ke kiri dan ke kanan dengan sangat lamban, tak segesit dulu waktu beliau mengomandani kami semua mencipta orkestra Sego Megono di malam buta. Kedua mata beliau pun lebam dikelilingi memar akibat peredaran darah yang tak lagi lancar. Sesekali beliau menangis meneteskan air mata dan peluh, entah karena apa, karena tak lagi jelas beliau berbicara.
“Sopo…?” mungkin itu yang dapat kupahami dari ucapnya ketika kuucap salam dengan sedu yang tertahan. Dan, hanya bisa kukecup keningnya sambil sesenggukan…..
Ya, Mbahku benar-benar sudah renta dan tak berdaya. Tapi segenap peran dan jasanya tetap tak tergantikan. Dialah yang terbaik, dialah pondasi segenap watak kami.
Dia simbol Djawa bagi kami.
Dalam isak yang sesekali tak tertahan, kulantunkan sebuah surat dari kitab suci Al-Qur’an. Dengan segenap harap semoga hanya yang terbaik yang dilimpahkan atasnya, Mbahku, Mak Rasumi, yang terbaik.
-amru nofhart-