Salah satu dari sedikit baju yang saya punya adalah hoodie sporty dengan logo menyerupai ✔. Beberapa waktu yang lalu, hoodie tersebut sering saya kenakan pada saat acara jamuan makan malam dengan kolega kerja. Yang menarik adalah, karena jamuan makan biasanya di resto atau lounge dengan harga secangkir kopi puluhan ribu, maka hoodie tersebut dianggap barang mahal.
Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan hal itu. Terlebih, karena memang pakaian tersebut saya beli murah, tidak semahal perkiraan teman-teman. Sampai pada siang tadi saya alami kejadian ini.
Dari Sebuah Hoodie
Pagi ini, karena di Kota Wali yang biasanya panas ini terasa mendung, saya putuskan pakai hoodie. Aktifitas yang sekarang ini mulai membiasa, antar-jemput anak sekolah saya lakoni sendiri karena istri sedang cuti setelah melahirkan sebulan yang lalu. Tiba di sekolah si bungsu, masih sekitar 30 menit lagi sebelum bel pulang. Saya putuskan untuk ngopi di warung seberang jalan.
Di warung itu rupanya ada beberapa orang sedang ngopi juga menjadi teman ngobrol saya. Obrolan berkisar di seputaran event “maulidan” yang memang lagi happening di kota ini. Beberapa diantara mereka membahas agenda kapan baiknya mengajak anak-anak ke sana.
Sampailah kemudian kepada sub-bahasan tentang apa yang mau dibeli di pasar malam maulidan itu. Saya masih setia menjadi pendengar saja. Sebagai perantau di kota ini sejak 2008, memang saya baru ke acara tahunan itu sekali. Seorang anak muda kemudian membuyarkan lamunan saya dengan sebuah pertanyaan; “itu kaos yang Bapak pakai beli di muludan juga kan?” Sontak saya kaget dan hanya bisa tersenyum sembari kembali menikmati kopi di cangkir saya.
Rupanya, diam dan senyum saya langsung diartikan secara template sebagai “iya” oleh si penanya tadi. Jadilah hoodie saya dilabeli barang pasar malam dengan harga obral, hehehe. Tak mengapa buat saya, bahkan menyenangkan karena bisa lebih blended ngopi di warung ini. Namun tak lupa saya mengambil pelajaran dari hal tersebut.
Busanamu Bukan Harga Dirimu
Dulu, semasa SMP saya pernah mendapat sebuah ujaran dari guru PKK saya;
Ajining rogo ono ing busono
Ajining diri ono ing kedhaling lathi
Agomo agemaning diri
Saya, dan mungkin beberapa teman lainnya, memahami ini secara harfiah. Bahwa dengan baju yang bagus maka diri semakin diajeni (baca: dihargai). Memang tidak juga sepenuhnya keliru, namun rasanya menjadi kurang tepat manakala disandingkan dengan dua pitutur berikutnya. Bahwa lisan, dan agama menjadi ukuran dan pegangan yang sesungguhnya.
Dalam kasus tadi, saya mengambil pelajaran betapa hoodie yang saya pakai pun menjadikan saya lebih berharga diri dalam pergaulan. Tentu, dengan nilai yang lebih lentur. Di saat saya berjumpa dengan kolega saya dengan kopi secangkir Rp 25.000,-, maupun di warung dengan bapak-bapak tadi dan kopi secangkir Rp 2.500,-.
Buat saya, harga diri adalah ketika kita diterima diantara manusia lain dengan baik.
Kegembiraan bagi saya adalah saat bisa ngobrol dan bertukar pikiran dengan kolega kerja saya. Kegembiraan pula bagi saya ketika bisa diterima di obrolan warung kopi tadi.
Akhirnya, saya akhiri sruputan terakhir dari kopi yang saya pesan dan kemudian saya bayar sepersepuluh lebih murah dari kopi di lounge itu. Agak tergesa saya langkahkan kaki untuk menyeberang dan menjemput Kayna, putri pertama saya. Namun kembali saya harus tersentak saat si abang yang tadi bertanya; “jadi bisa ke muludan bareng nggak mas? tolong kasih lihat penjual kaosnya ya.”
Dan, saya pun takut untuk tersenyum lagi kali ini.
Salam Teleportasi Manfaat.
@hartantoID