Tahun 2002 silam, saya merasakan pedihnya PHK pertama yang harus dihadapi. Saat itu tim kuli bangunan yang saya ikuti harus mengurangi personel karena proyek sudah mendekati proses akhir.
Saat itu posisi saya masih sama dengan posisi waktu masuk, pastinya karena baru 3 minggu, yaitu seorang “laden” atau helper. Tugas saya sederhana, membawa mortar dan bahan bangunan lainnya dari tempat adukannya untuk digunakan sang tukang. Sebuah posisi sederhana untuk saya yang saat itu lulusan sekolah kejuruan spesialisasi kimia tekstil dengan nilai yang tidak jelek-jelek amat.
Di akhir September kemarin, saya justru mengakhiri karir saya di sebuah group usaha yang cukup besar dengan posisi yang jauh lebih baik. Yah, saya resign – alias mengundurkan diri, bukan karena tidak kompeten ya.
Setidaknya, nama saya tercantum sebagai Assistant Director. Perbedaan capaiannya tentu sudah sangat jauh. Tapi justru karena itu menimbulkan sebuah pertanyaan bahkan bagi diri saya sendiri. Ada hikmah apa yang bisa dipetik dari resign ini?
Ada 5 point yang saya bisa catat dari resign ini, setidaknya bisa jadi bahan saya pribadi untuk instrospeksi.
#1 Jangan Pernah Rencanakan Resign
Dari karier saya pertama sebagai kuli bangunan hingga terakhir asisten pemilik group usaha, saya tidak pernah (berhasil) merencanakan untuk resign. Kalau untuk kasus pertama, saat jadi kuli bangunan, jelas lah ya saya nggak bakal berani merencanakan resign. Itu murni PHK karena pengurangan karyawan, eh kuli, clear.
Beranjak pada kasus terakhir, saya pun tidak resign dengan rencana. Setidaknya, beberapa kali saya merencanakan resign dan selalu gagal dengan segudang pertimbangan pribadi dan/atau keluarga.
Sahabat dan senior saya Febriyan Lukito adalah orang yang paling sering bilang; yakin lo? Dan, akhirnya beberapa kali terbukti keraguannya berbuah batalnya saya resign.
Dari beberapa kejadian itu saya berkesimpulan, resign bukanlah sesuatu yang bisa direncanakan. Setidaknya dalam kasus saya. Hal ini mungkin karena setiap kali memulai dan/atau menerima sebuah pekerjaan saya selalu menjalaninya sepenuh hati. Satu kalimat yang selalu saya ingat adalah;
“Jika kita mulai kehilangan semangat dalam menjalani sebuah pekerjaan maka ingatlah di luar sana banyak orang yang memimpikan bisa menjalani pekerjaan kita”
#2 Materi bukan Alasan Pindah atau Resign yang Tepat
Meski bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan, bahkan cenderung kekurangan, saya tidak pernah punya niatan menumpuk materi. Bahkan pada saat saya menjadi kuli bangunan yang naksir calon dokter gigi pun, saya bukan pemimpi yang baik soal materi. Mungkin latar belakang didikan keluarga membentuk saya sedemikian rupa.
Dalam dunia kerja pun, jika materi yang dikejar maka akan sangat berdampak buruk bagi perjalanan karier kita pribadi. Bagaimana tidak, karena sebesar apapun materi yang dikejar akan selalu ada pembanding yang membuat seseorang mencari pekerjaan dengan kompensasi materi yang lebih dan lebih lagi.
Dalam kasus saya, beberapa kali merencanakan resign untuk sebuah posisi di perusahaan lain dengan renumerasi lebih banyak, saya selalu gagal. Berbagai macam hal menjadi penyebabnya. Tapi yang paling menjadi catatan bagi saya adalah, beberapa kali saya justru menolak posisi yang ditawarkan dengan take home pay tinggi. Hal ini dikarenakan pertimbangan keluarga yang menjadi jauh lebih berharga jika harus dibandingkan dengan tingginya materi yang ditawarkan.
Untuk point yang satu ini saya selalu ingat wejangan dari teman saya :
“Lakukan apa yang membuat kamu dan keluargamu bahagia, jangan ukur kebahagiaanmu dengan standar temanmu dan keluarganya.”
Baca juga: Tips untuk Para Orang Tua untuk Punya Anak Sholeh
#3 Kantor adalah Kampus, Selalu ada Waktu Kelulusan
Kalau materi kemudian sudah bukan menjadi alasan, maka biasanya ilmu dan pengetahuan yang bisa diperoleh di sebuah perusahaan menjadi poin lebih penting untuk dipertimbangkan. Dari sudut pandang inilah kemudian, salah seorang teman saya menyebut kantornya sebagai kampus, tempat menimba ilmu
Saya yakin, banyak dari kita yang berada pada posisi “ngampus” di kantor. Kalau sudah demikian, saya yakin anda semua sadar bahwa akan tiba masanya kelulusan. Semoga kelulusan dimaksud adalah waktu untuk menerapkan ilmu yang sudah dipelajari. Atau minimal lulus untuk menimba ilmu lebih banyak lagi di tempat lain.
Dalam analogi “ngampus”, ada yang bisa selesai dengan durasi normal; ada yang bisa ikut program percepatan; ada juga yang butuh mengulang beberapa mata kuliah sehingga waktu yang dibutuhkan lebih panjang. Masuk golongan manapun, yang penting kita tetap fokus pada tujuan awal untuk belajar. Asal jangan sampai kita terlalu menikmati menjadi mahasiswa abadi.
#4 Momen vs Masalah
Inilah yang seringkali terjadi, kerancuan mengenai pemicu kenapa seseorang kemudian memutuskan resign. Hal ini tentu tidak lepas dari pertanyaan setiap orang ketika kemudian kita memberitahukan bahwa kita akan resign; “emang ada masalah apa?” Loh, emangnya harus ada masalah untuk resign?
Bagi saya, penting untuk selalu menanamkan pada diri pribadi dan teman-teman semua yang kemudian saya tinggalkan; bahwa saya tidak resign karena ada masalah.
Kalaupun ada masalah, katakanlah perbedaan pendapat, itu tentu bisa saja terjadi kapan pun. Maka selalu saya katakan bahwa itu hanyalah momen yang diberikan oleh Sang Pemilik skenario hidup anda sebagai penentu kapan anda harus melakukan sesuatu.
Masalah, kalau tidak untuk disebut sebagai dinamika, akan selalu ada dalam hubungan kerja. Baik kepada atasan, rekan kerja, maupun bawahan, akan selalu ada pola komunikasi yang dinamis. Maka jika kemudian anda memutuskan resign karena ada “masalah” dan pindah ke tempat kerja lain, maka anda harus bersiap untuk selalu resign.
#5 Apa Itu Step-Up?
Setelah perihal momen, berikutnya adalah tujuan. Sedikit kembali ke point ke #3 maka kita harus menetapkan target perbaikan sebagai penanda waktunya kelulusan (baca: resign). Maka seharusnya kita menetapkan secara definitif apa itu lompatan atau step-up?
Dalam kasus saya, yang kemudian berhasil mengalahkan segala rencana resign sebelumnya adalah kemantapan untuk berwirausaha. Dan, benar saja, hal ini yang kemudian membuat pembicaraan “pamit” yang saya sampaikan dengan Si Boss menjadi mulus. Bahkan, berikutnya beliau menyampaikan rasa bangganya bahwa ada anak buahnya yang kemudian step-up.
Baca juga: Nilai seorang manusia
Kesimpulan
Bagi saya, kesuksesan adalah sebuah proses. Sedangkan pencapaian baik dalam hal materi dan/atau lainnya hanyalah sebuah parameter ikutan. Dalam hal parameter ini, tujuan seseorang dengan orang lainnya bisa saja serupa atau bahkan sama. Tapi pilihan jalan menuju kepada tujuan itu boleh saja berbeda.
Karena kemerdekaan sejatinya adalah kebebasan untuk bisa saja salah, tapi bukan kebebasan untuk menjadi salah. Hidup terlalu singkat untuk dijalani sebagai orang lain, maka tentukanlah jalan hidupmu !!!
@hartantoID