Pernah ngobrol dengan orang yang serba tau? Setidaknya semua yang kita tanyakan seolah-olah dia bisa menjabarkan semuanya sebagai seorang “ahli”? Sekali lagi tolong dicatat: seolah-olah. Nah, masalahnya sekarang, adakah benar-benar orang yang memiliki kemampuan tersebut? Sekarang catat lagi: sekarang.
Ini bukan perihal kebebalan saya tidak mau belajar dari siapapun. Ini juga bukan perihal merasa kurang nyaman dipersepsikan sebagai seorang bodoh, wong memang aslinya saya bodoh koq. Perihalnya ya dua itu; apa benar sekarang ini ada seorang ahli segalanya? sekali lagi, sekarang, serba ahli? Dengan segala keterbatasan saya, saya yakin TIDAK ADA.
Ahli sebagai Akibat dari Kompetensi
Dulu, semasa kecil saya sempat protes kepada ayah saya dengan nama saya yang terlalu singkat menurut saya. Kenapa? ya karena kebanyakan teman saya memiliki nama minimal dua kata, sementara saya cuman satu kata: hartanto. Dari situ saya berpikir untuk memanjangkan nama saya dengan gelar yang saya citakan untuk saya peroleh dari jenjang akademis. Kali ini juga catat, masih dalam tahap cita-cita, masih berproses.
Kembali kepada hal yang saya coba sharing di atas, bahwa sejatinya tidak ada saat ini orang yang ahli dalam segala hal. Kalaupun ada definisi ahli pada saat ini, seyogyanya itu hanyalah gelar yang disematkan oleh orang lain kepada seseorang yang mereka (atau secara akademis) anggap memiliki kompetensi yang disematkan padanya.
Jadi makin jelas bisa dipahami, bahwa sematan gelar ahli hanyalah akibat dari kompetensi yang dia miliki, itu pun dalam bidang (akademis) membatasi dan mengkotakkannya. Alhasil, menjadi sangat lucu kalau ada seseorang yang mendadak pintar sekali dalam segala hal. Dan, menjadi sangat-sangat lucu apabila ada orang yang mengejar kompetensi dengan keahlian.
Belajar dari Manapun, Tentang Apapun
Ibnu Sina – Wikipedia |
Sedikit flash-back ke tepian sejarah masa lalu, setidaknya yang saya tahu ya, para ahli jaman dahulu yang kita ketahui belakangan justru lebih terkesan haus ilmu. Sebut saja Leonardo Da Vinci yang semula hanya kita dengar sebagai seniman penghasil lukisan Monalisa yang kesohor itu, ternyata juga seorang penemu rancangan helicopter.
Satu lagi contoh; Ibnu Sina, atau kalau di barat dikenal sebagai Avicenna, Bapak Kedokteran dunia yang bukunya masih jadi rujukan para pembelajar bidang kedokteran. Beliau ternyata adalah juga seorang ulama besar yang juga dikenal sebagai seorang filsuf. Bahkan George Sarton menyebutnya sebagai “ilmuwan paling terkenal dari Islam dan salah satu yang paling terkebal pada semua bidang, tempat, dan waktu”.
Pertanyaanya, kenapa para ahli terdahulu bisa sedemikian hebat? Tentu karena mereka mau dan mampu belajar dari siapa pun, tentang apa pun, kapan pun.
Kesimpulan
Mungkin ungkapan yang baru-baru ini saya dengar dari seorang Indro Warkop bisa menjadi tali penghubung kondisi diatas;
Seseorang yang mengejar prestige tidak akan mendapatkan prestasi. Tapi seseorang yang sudah memiliki prestasi, akan dengan sendiri nya memiliki prestige.
Jadi, terkait kompetensi apakah itu kompeten dan berisi atau kompeten untuk gengsi, tergantung apa yang ingin kita kejar dengan kompetensi itu; prestasi kah? Atau prestige?
@hartantoID