Kamisharing

Sabar-Syukur: 2 Sisi Mata Uang untuk Hidup

“Jadi, mau ngobrolin apa kita malam ini?”

Sebuah pertanyaan pembuka diskusi dengan seorang mentor kali ini. Beberapa bulan ini memang relative intens bertemu dan menimba ilmu dari beliau. Mencoba mengenal lebih dekat, mencuri ilmu dari beliau tentang satu lini bisnis yang kebetulan saya pribadi sedang pendekatan untuk memulai terlibat di dalamnya, hingga berbincang informal seperti malam ini bersama beberapa kolega.

“Jadi, banyak orang yang mengaitkan syukur hanya perihal nikmat. Dan sebaliknya, sabar hanya perihal ujian.”

Begitu beliau memberi garis tebal pada tema cerita kali ini. Awalnya beliau bercerita tentang pengalaman umroh terakhir bersama sang muthowif-nya, yang pada waktu-waktu setelahnya menjadi guru ngaji bagi kelompok usahanya.

Baca juga: Gagal 3x Dalam Membangun Usaha – Terus atau Henti?

Kemudian berlanjut pada episode dimana di saat usahanya sedang tidak baik-baik saja justru beliau menginisiasi program sosial berbagi nasi bungkus setiap pekannya. Yang sampai saat ini sudah berlangsung bertahun dan, mengutip kalimat beliau, ada saja dana untuk menjalankannya secara istiqomah.

Meski perkara hati tidak ada yang bisa mengerti, kadang berat kadang juga ringan, tapi dorongan jaminan dari-Nya bahwa hal baik akan selalu menemukan jalannya membuat program itu bertahan.

Sabar dan Syukur, Dua Sisi Mata Uang

bersyukur dalam hidup
Sabar dan syukur dalam hidup – dua sisi mata uang yang….

“Jadi sebenarnya, menurut pandangan saya, sabar dan syukur adalah dua sisi mata uang. Yang dengannya kita mampu membeli kebahagiaan. Jadi rasanya mustahil sabar tanpa syukur, begitu juga syukur tanpa sabar.”

Lantas dimulailah cerita beliau tentang bagaimana ketika bisnisnya berada di titik terendah. Yang tentu membawa dampak pula kepada kestabilan ekonomi rumah tangga. Saat di mana saldo tinggal segitu-gitunya, ada kesadaran dalam diri bahwa ini semua semakin diluar kendalinya. Harus ada pihak Maha Besar yang mampu membuat skenario terbaik sebagai jalan keluar. Maka kita sering mengenalnya dengan fase pasrah.

Dalam fase itulah, yang sebelumnya beliau anggap sebagai sebuah ujian atau bahkan musibah, entah kenapa ada dorongan untuk bersyukur. Tentu hal itu tidak sekonyong-konyong dan sudah pasti berangsur-angsur.

Baca juga: 10 Rekomendasi Buku untuk Pengusaha (Pemula) yang Wajib Dibaca

Perasaan di awal pun berasa jungkir balik tak menentu. Rasanya seperti dipaksa untuk tersenyum atas sesuatu yang sebelumnya terasa sekali membuat terpukul. Bagaimana mungkin bersyukur disaat tersungkur?

Tapi ternyata di saat dunia terbalik itulah keadaan mulai membaik. Berbagai jalan yang sebelumnya tak terduga dan/atau mungkin tak terbayangkan menjadi ada dan membuka diri.

Berbagi Nasi, Sesuatu yang Pasti Ada

sabar dan syukur dalam hidup
Apa sebenarnya sabar dan syukur dalam hidup?

“Sudah sampai titik ini, dimana tidak ada lagi yang dipunya dan bisa membuat ‘bangga’, kira-kira apa yang bisa dibagi? Padahal lauk apa besok aja kita nggak tau?” begitu kira-kira pertanyaan istri beliau. Harusnya seorang suami sedih mendengar pertanyaan seperti itu. Dan memang beliau sedih, sudah barang tentu. Tapi berbarengan dengan perasaan itu tadi muncul sebuah ide; untuk berbagi apapun yang pasti ada.

Dari situ lahir inisiasi untuk berbagi nasi bungkus setiap hari Jum’at. Dan, seolah itulah kemudian perwujudan pintu gerbang yang diidamkan. Karena darinya kemudian muncul kemudahan dan kesudahan dari berbagai masalah yang ada. Kuncinya adalah istiqomah, menjadikan sesuatu agar dapat dipastikan kelangsungannya. Setidaknya dalam konteks jangkauan ikhtiar manusianya.

“Jadi, sebenarnya apa itu sabar, dan apa itu syukur?”

Tanya itu seperti menjadi pamungkas dari diskusi yang tanpa terasa sudah sampai di penghujung malam ini. Menjadikan kami semua di sekeliling meja diskusi menjadi merenung sejenak. Sembari mencerna sedikit demi sedikit cerita yang dibawa oleh beliau. Tapi juga sambil mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan itu tadi; sabar itu apa? Syukur itu apa?

Barangkali, jika kita sebelumnya memahami bahwa syukur itu melulu perihal nikmat, maka sabar adalah bersyukur dalam hal ujian. Sebaliknya, jika kita sebelumnya memahami bahwa sabar itu melulu perihal ujian, maka syukur adalah bersabar dalam hal nikmat.

Sabar, adalah syukur dalam menjalani ujian. Syukur, adalah sabar dalam menerima kenikmatan. Bukankah memang itu fitur optimal dalam setiap menghadapi peristiwa dalam kehidupan?

Menghadapi ujian sudah manusiawi jika kita bersedih, hingga ujungnya kita berdamai dengan ujian itu; itulah sabar.

Begitu juga menghadapi kenikmatan sudah manusiawi jika kita bergembira, hingga ujungnya kita harus mencoba mengendalikan euforianya; itulah syukur.

Sedikit Elaborasi ;  “This too will pass.”

Mungkinkah kita bersyukur dalam menerima ujian? Ini sih pertanyaan standar, anak SD yang baru cap jari untuk ijazah juga bisa nanya gitu. Sebelum kita jawab pertanyaan ini secara standar, mari kita coba perbaiki pertanyaannya; apakah mungkin kita melawati ujian tanpa mensyukurinya terlebih dahulu?

buku islami tentang bersyukur

Syukur itu sedemikian penting sehingga nilainya setara dengan separuh iman. Tapi, mengapa sedikit sekali manusia yang dapat bersyukur? Hal itu boleh jadi karena manusia tidak benar-benar menghayati makna syukur.

Buku Dan Allah pun Bersyukur dari MH Ardian Syah inibukan hanya menjelaskan makna dan hakikat syukur, melainkan juga sarat dengan kisah syukur orang-orang saleh yang menyentuh pikiran dan hati.

Saya rasa, untuk setiap ujian yang pernah kita alami di masa lampau. Saat ini pasti kita sudah bisa berdamai dengan hal itu. Dan, jika kita ingat sepertinya awal mula dari fase damai itu adalah rasa syukur atas hal yang terjadi dan menjadi ujiannya.

Perlukah kita bersabar dalam menerima nikmat? Ini sih pertanyaan aneh, gurunya anak SD yang baru selesai cap jari ijazah untuk muridnya tadi juga akan mengernyitkan dahi dengan pertanyaan ini. Ngapain nikmat disabarin? Nikmat itu disyukurin?!

Saya rasa, lagi, untuk setiap nikmat yang pernah kita terima. Saat ini pasti ada yang tinggal cerita, jika tidak mau dibilang semua nikmat yang sudah lewat. Dari situ bukankah kita paham bahwa nikmat apapun itu tidak ada yang berlaku selamanya? Maka rasanya kita baru akan lega menghadapi ujung dari sebuah kenikmatan hanya dengan rasa sabar.

Pada akhirnya, kita akan berhenti pada pemahaman bahwa nikmat dan ujian adalah dua hal yang akan senantiasa kita hadapi, bergiliran, bergantian. Maka jika saat ini teman-teman yang dalam menjalani usaha sedang menghadapi ujian, yakinlah bahwa nanti akan tiba saatnya kita mendapakan kenikmatan. Sebaliknya bagi yang usahanya sedang berjaya dan mendapatkan kemudahan, yakin dan bersiaplah bahwa nanti akan tiba juga saatnya kita menjalani ujian.

“This too will pass”

Lamunan saya kemudian melambung menuju masa kecil ketika sehabis ashar menunggu waktu maghrib setelah selesai mengaji. Biasanya Kyai kami yang juga seorang mantan Dalang, beliau menemani kami dengan cerita-cerita penuh hikmah.

Saya teringat salah satu cerita beliau, bahwa Semar itu kalo berperjalanan dan rutenya sedang mendaki dalam susah payah justru dia tersenyum. Sebaliknya jika ruternya sedang sedang menurun dalam kelonggaran justru dia murung.

Ya, Semar tersenyum karena dia tau bahwa setelah mendaki pasti setelah ini turunan. Dan, dia murung karena setelah kelonggaran pasti akan ada pendakian. Ya, this too will pass

Leave a Reply