Reboan

SANG PANGERAN

2


Ngantepi Islamnya samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Quran pan Ayat Katal


Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah Dalil
Dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah
(Kyai Mojo, 1828)

Penantian Dua Tahun

Mendengar kabar bahwa Ustadz Salim A. Fillah akan menulis soal sosok ini menjadikan saya sangat bersemangat. Bahkan cenderung cerewet, di setiap postingan beliau yang menyertakan spoiler saya selalu berkomentar: “kapan terbit Ustadz?”
Dan, akhirnya penantian itu pun terbayar lunas. Buku novel sejarah berjudul Sang Pangeran dan Janissary Terakhir mendarat di rumah dengan penuh gairah. Gairah untuk dibaca tentunya. Ditambah lagi, ada PR dari Ustadz Salim untuk menulis resensinya. Wah, tantangan nih. Tapi pasti tidak mudah. Dan terbukti. Memang susah.

Bukan Sekadar Perang Jawa

Dari lamanya penantian yang tadi saya ceritakan. Akhirnya datang juga buku yang benar-benar berbobot. Secara harfiah juga. Sudah dapat saya terka bahwa riset untuk menyusun buku ini bukan riset kaleng-kaleng. Saya sudah banyak persiapan bahwa ini bukan hanya “kisah perang seba’da maghrib” sebagaimana sering saya dengar selagi kecil.
Cuilan bocoran di bawah judulnya benar-benar harus selalu diingat oleh setiap pembaca buku ini. Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro. Hal ini untuk selalu menjaga ke-eling lan waspada-an setiap pembaca untuk setiap kejutannya.

Simpul Jawa – Turki

Inilah kejutan pertama yang harus diselami oleh setiap pembaca Sang Pangeran dan Janissary Terakhir. Bagaimana ternyata geopolitik bukanlah barang baru bagi masyarakat Nusantara. Novel ini pun seolah bertutur tentang dua sisi. Sang Pangeran di satu sisi. Dan Janissary asal Turki di sisi lainnya. Keduanya seolah berbagi porsi dalam kisah di buku ini. Melompat silang kesana kemari. Sesekali atraksi ini memang membuat pambaca harus ekstra waspada, apalagi jika kita berharap plot di kisah ini serupa garis lurus.
Membaca novel sejarah ini serupa film Avenger seri terakhir. Sesaat di Tegalrejo, 1825. Lantas melompat ke Istanbul, 1821. Mundur lagi ke Makkah, 1803. Untuk kemudian kembali ke Pegunungan Serayu, 1830.
3

Sejarah dan Optimisme

Banyak sekali bertebaran diksi khas dalam buku ini. Dari yang ngapaq sampai yang kekinian. Bahkan yang tersamar sekalipun, menurut saya. Misalnya, jawaban “adalah siyapp” sering saya bunyikan “ahsiyapp” di masa sekarang. Meski tentu konteks sejarahnya menjadi agak menipis jika dibunyikan seperti itu.

Tapi justru hal itulah yang membuat saya agak berpikir lama, kenapa Ustadz Salim memilih hal demikian? Padahal dengan kekayaan diksi yang beliau miliki bukan hal mudah menurut saya untuk menjaga kemurnian rasa sejarah dari novel ini.

Di bagian akhir buku baru bisa saya pahami pesannya. Setidaknya menurut saya, sekali lagi. Bahwa sejarah tidak hanya untuk jadi bahan bacaan usang. Bahwa kita harus banyak belajar dari setiap fragmen sejarah di sekitar kita. Bukankah sejarah kerap berulang? Dan cara terbaik mengambil pelajaran dari sebuah sejarah adalah menyongsongnya dengan optimisme untuk masa depan.

Penutup

Meminjam pitutur Cak Nun dalam sebuah forum Maiyah, bahwa kita belajar sejarah untuk tidak lupa siapa diri kita. Bahwa kita adalah Garuda. Tapi kenyataan sekarang bahwa kita bahkan tidak sadar bagaimana bersikap sebagai Garuda. Bagaimana ketangkasan Garuda dalam mencari penghidupan dengan berburu penuh keberanian dan gagah. Bukan dengan mengais dan tangan tertadah.

Dari Novel ini kita akan semakin yakin. Bahwa kita adalah Garuda.

….

Wus dadi karsaning Suksma/
Tanah Jawa pinasthi mring Hyang Widi/
Kang duwe lakon Sira//

“….

Sudah menjadi kehendak Yang Maha Esa
Tanah Jawa telah ditakdirkan oleh Sang Pencipta
Kamulah yang kan menjadi peran utama”

(babad Dipanegara, II: 121)

@hartantoID

Leave a Reply