Hartanto.id – Berikut ini adalah sebuah cerita seru. Bahkan boleh dibilang, merupakan salah satu fragmen terseru dalam masa saya bekerja sebagai VP. Walaupun waktu itu saya hanya VP di di sebuah group usaha kecil dan di kota yang juga tidak besar, namun saya berharap, cerita ini bisa menjadi gambaran besar.
Sudah jamak diketahui bahwa dalam sebuah transformasi organisasi akan selalu ada gejolak. Apalagi jika sebuah family company mencoba berbenah ke arah yang lebih terbuka. Tidak jarang penentangan terjadi dengan dorongan alam bawah sadar organisasi.
Seperti sebuah kultur.
Saya kebetulan direkrut sebagai langkah awal transformasi tersebut. Dari kolusi ke meritokrasi. Tapi tentu sebagai langkah awal tidak pernah mudah.
Manager HRD Baru
Sebagai VP, saya ditugaskan membawahi banyak departemen. Di holding itu sendiri. Ataupun koordinator bagi hampir semua sister company. Di tahun-tahun awal itulah saya butuh membenahi kepersonaliaan. Terlebih setelah HRD lama pensiun dini. Maka tibalah masa untuk merekrut officer baru. Pilihan jatuh pada kandidat dari Big Boss.
|
Hanya sebuah ilustrasi – bukanlah SAL ya. |
Sudah bukan pilihan keluarga memang. Tapi masih dengan pertimbangan ikatan emosional. Sebut saja namanya “Sal”. Nanti di akhir tulisan akan ada alasan untuk penyebutan ini.
SAL dan Bebannya
Sal ini anak baik. Komunikasinya bagus. Mudah bergaul dengan senior. Bahkan di usianya yang muda sekalipun. Punya daya tarik personal yang bisa dibilang charming. Fresh graduate pula.
Buat saya, awalnya, ini adalah modal yang sangat bagus. Bukankah salah satu fungsi HRD adalah komunikasi yang baik dengan seluruh lapisan? Apalagi di holding ini banyak senior. Saya pun mengalaminya di awal-awal periode saya bergabung.
Bulan pertama dilewati dengan pengenalan. Internal maupun eksternal. Sebagaimana dugaan, anak ini mudah bergaul. Supel, dan disukai teman ngobrolnya.
Laporan itu saya peroleh dari hampir semua pihak yang berkaitan dengannya agar lebih obyektif. Namun, tidak serta-merta saya iya-kan. Saya tahan karena saya paham betul masih ada nada sungkan dari setiap laporan saya. Bukankah Sal adalah pilihan big-boss?
Bulan kedua target pun saya geser.
Dari perkenalan dengan personel, menjadi perkenalan dengan pekerjaan. Apa-apa saja yang menjadi pekerjaan manajer lama yang harus dia teruskan, perbaiki, atau bahkan hentikan.
|
Bekerja dalam TIM. |
Saya berharap Sal bisa memilah ketiganya dengan sempurna. Benar-benar berharap banyak. Dengan background dan karakter nothing to lose yang saya dapati di dirinya. Setidaknya di kesan awalnya.
Namun ternyata, karakter tanpa beban itulah yang jadi titik krusialnya.
Untuk setiap kondisi yang dia tidak menguasainya, dia bahkan terlalu tanpa beban untuk berlaku tidak tahu. Padahal, posisi dia sebagai manager HRD tidak boleh seperti itu.
Sederhananya, dia menjadi tidak paham tentang jenjang dan struktur komunikasi dalam perusahaan. Padahal itu tugas utama dia sebagai kepala kepersonaliaan.
Bypass Komunikasi
Ketidakpuasan penanganan masalah-masalah yang diajukan kepada Sal, akhirnya berbuah banyaknya bypass dari rekan-rekan di hampir semua lini. Langsung kepada saya dan Bu Boss, memang beliau yang membidangi kepersonaliaan.
Saya, menanggapi hal itu sebagai bentuk ketidakpercayaan. Atas kapasitas Sal sebagai pimpinan dan pemegang tanggung jawab terhadap hal-hal yang dikeluhkan.
Sementara Bu Boss, dengan segala kebijakannya menganggap itu sebagai proses belajar.
Saya keukeuh dan berargumen, bahwa dalam konteks ini tidak boleh dijadikan proses belajar. Urgensi permasalahannya tidak bisa ditangani sebagai studi kasus.
Sal pun tetap tidak beranjak belajar di bulan ketiga. Juga bulan keempat, saat berakhirnya masa percobaan. Dia masih asyik dengan agenda kongkow-kongkownya. Dengan setiap mitra kerjanya. Memang penting untuk menjaga komunikasi informal. Hanya jika fungsi official pokoknya terpenuhi.
Baca juga: Kompetensi, Kompeten untuk Gengsi atau Kompeten dan Berprestasi
Tapi yang terjadi sebaliknya. Agendanya sepanjang masa percobaan cenderung hanya mengejar keterkenalan dirinya sebagai pejabat baru. Tapi setiap permasalahan yang datang padanya tidak langsung tertangani dengan alibi masih dalam proses penyesuaian.
Buat saya ini fatal. Bagian personalia menghadapi masalah keseharian. Setidaknya urusan gaji dan tunjangan saja harus dikerjakan setiap bulan. Tidak bisa menunggu pemahaman setelah masa percobaan.
|
Penilaian kerja itu nyata SAL. Sayangnya SAL, Levelmu belum tepat. |
Nasib SAL, Pada Akhirnya…
Masa percobaan usai. Dan rapat pimpinan pun digelar, untuk evaluasi. Saya sampaikan pandangan menyeluruh, hasil observasi sepanjang 4 bulan. Mulai dari keunggulan dan harapan pada Sal. Hingga perkembangan dan dinamika yang terjadi atas setiap sepak terjangnya.
Dia enak sebagai teman ngobrol, tapi bukan sebagai pemegang control. Dia populer, tapi belum bisa jadi manager. Apalagi jika kami berharap bisa visioner, untuk menjadi inisiator pengembangan sumber daya manusia korporasi kami. Yang itu adalah kunci ditengah perkembangan usaha kami.
Tibalah saat itu. Saat saya harus menjadi juru bicara penentu. Menyampaikan ketidaksesuaian antara harapan dan perolehan kami. Atas kinerja yang menjadi hak kami atas Sal.
Dengan ke-muda-annya, saya sampaikan bahwa masih banyak kesempatan yang lebih baik untuknya di luar sana. Akhirnya, terucaplah tanggapan dari Sal yang akan selalu saya ingat:
“Somebody has to go to the LEFT to get everything RIGHT”
Saya menyebutnya SAL, dari kata SALAH. Bukan berarti dia yang salah. Tapi keputusan kami memberinya mandat yang belum pada tempatnya, itulah yang harus diperbaiki.