KamiSharing kali ini bicara tentang penipuan oleh orang yang sudah dipercaya. Kita tak bisa menduga apa yang bisa dilakukan oleh seseorang, sekalipun telah mengenalnya sekian lama.
Pagi ini saya dapat kesempatan emas, untuk ngopi bareng seorang mentor. Kesederhanaan, itu yang selalu saya pelajari dari beliau. Tapi kali ini, untuk lebih ke sekian kalinya saya bertandang ke rumah beliau, saya kembali berharap belajar hal baru dari beliau.
Sempat salah lokasi ke rumah yang baru, rupanya Beliau sedang di rumah bertuahnya. Di situ ada meja pingpong yang digunakan warga sekitar untuk ngariung, menghabiskan pagi, mencari keringat, sembari menjalin kedekatan di perumahan yang lekat dengan hidup sendiri-sendiri.
“Saya habis kena tipu orang kepercayaan saya Mas.”
Beliau mengawali ceritanya, membuat sruputan kopi saya agak terjeda. Beliau? Kena tipu? Tapi sebisa mungkin saya tidak bertanya. Jaga diri, kan ini sepertinya ini hal sensitif untuk diceritakan. Dan, saya juga sedang khusyu’ dengan lontong dan tahu Sumedang yang menemani obrolan tentang penipuan kali ini.
Cerita Tentang Penipuan – Background Story
“Mas pernah dengar PT. XXX? Itu usaha saya sejak 2014, tapi sudah auto pilot. Saya hampir nggak pernah aktif disitu. Disamping itu lebih bersifat social entrepreneur, membantu para petani mendistribusikan hasil panennya ke beberapa teman nongkrong saya yang buka usaha F&B”
Rupanya Beliau melanjutkan ceritanya. Tentang bagaimana seorang kepercayaannya di bisnis yang dimaksud melakukan telikung yang cukup tajam dan kentara. Bagaimana mungkin seseorang yang dipasrahi bisnis sedemikian all-out-nya justru membuka pintu pengkhianatan?
Bayangkan; jaringan petani dari yang bersangkutan, jaringan pembeli dari yang bersangkutan, modal dari yang bersangkutan, sistem dari yang bersangkutan. Koq bisa-bisanya seseorang yang dikaruniai kemudahan semacam itu masih kepikiran untuk nelikung?
Tentang Sifat Rakus Manusia
“Orang itu Mas, kalo udah ketemu rakus ya nggak akan ada cukupnya. Mau dikasih segimana juga pasti otaknya mikir kurang dan kurang terus.” Kembali Beliau menjelaskan dan saya pun kembali mencatat.
Sembari menyeruput kopi, pikiran saya pun berkembara ke dalam adegan di sebuah film lama. Saya ingat judulnya Hacker, yang menceritakan sekelompok anak muda yang melakukan kejahatan perbankan berupa carding. Dalam sebuah adegan, ada quote yang entah kenapa terngiang membersamai seruputan kopi saya kali ini;
“Money doesn’t change people, it reveals them”
Bahwa uang tidak membuat orang berubah, dia hanya menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Entah kenapa saya lebih suka sudut pandang ini ketimbang beberapa nasihat yang bernada sebaliknya; menyalahkan uangnya sebagai faktor pengubah.
Terdengar lebih introspektif. Ya, saya sepakat bahwa uang tidak pernah membuat orang berubah, dia hanya menunjukkan watak asli dari orang tersebut. Yang barangkali belum terlihat jelas sebelumnya.
Label Harga Seseorang
“Saya niatkan usaha itu untuk sama-sama bekerja sosial Mas, karena hitungannya pasti mepet kalo secara keuangan. Tokh dia juga masih aktif bekerja sebagai professional, sebagaimana saya. Hanya saja manakala dia berubah haluan ingin menjadikannya ladang cuan dengan cara-cara kotor; tekan petani untuk dapat harga beli murah dan menipu pelanggan untuk dapat harga jual mahal, kedua arah dengan membawa nama saya. Di situ dia melabeli harganya sendiri.”
Sesungguhnya inilah yang jadi pikiran saya sedari awal; apakah tokoh kita ini nggak tau siapa yang dia telikung? Betapa sempit pola pikirnya jika dia merasa bisa menipu seperti itu selamanya? Lebih jleb lagi manakala mentor saya kali ini bilang, bahwa ini hanya efek jera buat dia. Saya tau sampai titik mana saya harus kembali menolongnya.
Di sinilah label itu berfungsi; menunjukkan harganya. Sementara yang dipertunjukkan oleh mentor saya ini; kesederhanaan dalam segala aspek. Setiap kali saya berkesempatan bertemu selalu saja “seragamnya” kaos putih a la Pak Tani dan celana olahraga seadanya.
Sembari melayani tetangga kompleks untuk sekadar ngopi dan main pingpong. Meski saya seringkali dengar cerita kehebatannya dari seantero jaringannya. Dari para petinggi daerah hingga tokoh nasional. Semua seolah tidak membuat beliau silau. Justru disitulah letak kemuliaan, tidak pada yang tampak tapi yang tersembunyi.
Rumus Socio-Preneur a la Beliau
“Sedari tadi rasanya yang ada adalah list of don’t semua ya Pak?” Tanya saya. Rupanya Beliau paham maksud saya, as always.
“Manfaatkan jaringan atasmu untuk membantu jaringan bawahmu. Itu rumus kebermanfaatannya Mas.”
Beliau memungkasi penuturannya.
Siapapun pasti punya jaringan, circle kalo kata anak sekarang. Dan, di antara circle kalian pasti ada lapis-lapis berbeda mengacu pada kebutuhan ekonomis dan pemenuhannya. Coba telusuri, berapa dari jaringan kita yang di bawah bisa tertolong dengan kita menjadi jembatan untuk terkoneksinya dengan jaringan kita yang di atas? Ya, sesederhana itu untuk menjadi seorang sociapreneur a la beliau.
“Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfa’at bagi manusia lainnya”
Tapi ingat, bermanfaat ya. Bukan dimanfaatkan, apalagi ditipu.
“Eh, jadi gimana nasibnya sekarang Pak?” saya jadi kepo ingin tahu kelanjutan cerita tentang penipuan yang tertangkap basah itu. Setelah merugikan berbagai pihak selama sekitar dua tahun itu.
“Sudah diselesaikan secara kekeluargaan Mas, bagi saya selama dia kooperatif dan mau mengakui kesalahannya itu jalan yang terbaik.” Tukas beliau.
“Wah, kalo masih mencak-mencak dan coba ingkar sih bisa jadi selesai se-keluarga-nya ya Pak? Eh…