Reboan

Aku dan Emakku

2
lotus : pitara.com


Hari ini, tepat seminggu sudah Emak (Ibu) saya berpulang. Sakit yang menahun yang justru membaik di beberapa minggu terakhir sebelum mangkatnya, menjadikan saya semakin yakin bahwa ini semua sudah pepesten dari Sang Khaliq.


Kesedihan sudah merupakan sebuah keniscayaan bagi saya dan segenap keluarga. Tapi tentu kita semua harus senantiasa eling bahwa cara terbaik menyayangi beliau saat ini adalah dengan mengikhlaskannya. 

Mengingat hanya kebaikannya, dan mendo’a untuk segenap kebaikannya di alam kubur sana. Bukankah kematian adalah juga nasihat?

Lemper dan Perjuangan


Ini adalah kisah tentang perjuangan. Yang akan saya selalu ingat, termasuk dengan cara menuliskannya di sini, dan akan saya sampaikan kepada anak-anak saya kelak.

Saat itu saya masih duduk di kelas tiga sekolah dasar. Adik saya belum juga masuk sekolah, masih harus saya gendong kemana-mana. Bapak saya yang seorang kuli di pabrik gula seringkali harus dinas malam. Memastikan perjalanan sepur tebu dari lahan tanam ke pabrik dengan aman. Penghasilan yang jauh dari mapan memaksa Ibu saya harus memutar otak mencari tambahan.

Setiap sore Ibu saya membuat jajan dari bahan ubi. Lemper namanya di kampung saya. Adonan ubi dibungkus daun pisang, disajikan hangat dengan parutan kelapa di atasnya. Setiap hujan datang, jajan ini jadi primadona.

Mengantisipasi permintaan pasar, tak pelak saya pun dikaryakan. Daerah operasi pun dibagi. Ibu saya menjajakan lemper dari ujung timur ke area Selatan desa. Sedangkan saya berjalan kaki dari arah utara menyusur area barat kampung. Tentu dengan tetap menggendong adik saya.

Kami pun kemudian bertemu di tengah. Di sebuah rumah mewah di depan musholla Darussalam. Di dalamnya ada majelis ta’lim adz-dzikra tempat saya mengaji di malam harinya. 

Keluarga pemilik rumah itu biasanya membeli barang dagangan kami dalam jumlah banyak. Mungkin memang karena penghuninya adalah keluarga besar. Mungkin juga karena kasihan dengan saya yang seringnya sudah kuyup kedinginan.

3
grittier: mind42.com


Daya Juang sebagai Warisan


Ibu dan Bapak saya bukan dari kalangan berada. Bahkan sampai akhir hayatnya tidak ada sebentuk harta sebagai warisan dari Ibu untuk kami yang ditinggalkan. Untuk mampu mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi seperti yang saya sandang saat ini pun, lebih banyak karena gratisan alias beasiswa. Selebihnya karena suntikan dana dari kerja serabutan sembari sekolah yang saya jalani semenjak SMP.

Tapi bukan berarti peran Ibu hilang. Justru saya meyakini bahwa sekecil apapun kebaikan yang bisa saya capai hanya karena kebaikannya dan Bapak saya. 

Daya juang, itulah yang beliau tanam dan wariskan kepada saya. Tanpa itu, saya rasa tidak akan menjadi seperti saat ini.


Dari berjualan lemper itulah, daya juang saya ditempa. Bukan sekedar rupiah tambahan yang kemudian bisa kami kais. Lebih dari itu, kemandirian menjadi pondasi kokoh yang kami raih. Bi’idznillah. Bukankah setiap orang tua harus mampu mempersiapkan anaknya untuk bisa melanjutkan hidup tanpa kehadiran mereka?

Semoga kemuliaan senantiasa tercurah untukmu Emakku di alam kubur sana. Allahummaghfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu’anha.

Leave a Reply