“Gimana sih cara lo bertahan Bro?”
Sebuah pertanyaan mengawali perbincangan sore itu. Dengan seorang teman lama, sahabat, dan bahkan sudah saya anggap sebagai kakak karena perannya. Kami pernah belajar di tempat yang sama, bekerja di kota yang sama. Dalam sebuah periode pernah saya panggil dia Boss, dan di periode berikutnya dia panggil saya Boss.
Memulai: Sebuah Tiket Satu Arah
“Lo resign gw tau kayak apa beratnya, dan sepengetahuan gw jadinya nggak punya gajian lagi. Bulanan pasti berat, banyak cicilan, tapi Lo bertahan. Bahkan tidak hanya bertahan, gw lihat Lo berkembang. Apa sih rahasianya?”
Kembali pertanyaannya terelaborasi dengan jelas. Dan, saya butuh waktu lama untuk mencoba menjawab secara gamblang. Sebab dalam pandangan saya, tidak bisa dipungkiri bahwa lebih banyak keberuntungan dibandingkan keberhasilan dalam kisah kewirausahaan saya.
“Gini loh Bro, kita sama-sama banker sebelumnya. Dan sekarang, kita sama-sama tau; gw udah jauh dari kapasitas itu. Bahkan tepat saat ini kondisi gw boleh dibilang menggelikan untuk dikaitkan dengan background sebagai banker…”
Dia melanjutkan ceritanya, kondisinya, keluhannya. Dan, saya mencoba menjadi pendengar yang baik. Tapi rupanya bukan itu yang ingin dia dapati. Dia butuh ngobrol, butuh jawaban. Maka jawaban saya;
“Mungkin karena gw udah kepepet, jadinya sebisa mungkin bergerak maju. Karena resign yang Lo inget waktu itu gw ambil adalah tiket satu arah. Tidak ada jalan kembali selain berubah dari pria berpenghasilan tetap menjadi pria yang tetap berpenghasilan.”
Susu Habis – Sebuah Penanda
Maka kemudian mengalirlah cerita kami berdua sembari mencari irisan tiap peristiwanya. Tak lupa kami mencatat setiap kegagalan sebagai bentuk pembelajaran, dan keberhasilan sebagai wujud kesyukuran.
“Terus di momen apa Lo merasa ini jalan yang tepat?”
Waduh, sejujurnya pertanyaan ini juga selalu terngiang di kepala saya. Karena bagi saya, keputusan untuk memulai dengan tiket satu arah tadi sudah bulat. Tapi permasalahannya adalah saya memulai Ketika sudah memiliki istri dan 3 orang anak, bahkan anak ketiga kami lahir berselang bulan setelah saya resign. Saya masih sangat ingat komentar seorang teman kala itu; “kalo Boss tau Lo bakalan punya anak bayi lagi gw yakin nggak akan diijinin tuh Lo resign”
Maka kemudian saya coba uraikan bahwa perasaan mantap bahwa ini jalur yang tepat adalah saat istri tidak lagi uring-uringan saat susu sang bayi hampir habis. Dia tidak lagi diam seribu bahasa dengan muka masam. Atau yang lebih perih apabila dia kemudian meminta ijin untuk mengganti merk susu yang mahal itu dengan yang lebih sesuai dengan saldo rekening.
Hingga di sebuah sore, susu anak ketiga kami habis. Tapi istri saya tersenyum dan bilang; “Bapak insya Allah mau dapat rejeki lagi deh, soalnya susu si kecil sudah hampir habis.” Dengan senyum termanis yang selalu menjadi modal terbesar saya. Saat itulah saya merasa; inilah jalan yang tepat, inilah hal yang layak untuk diperjuangkan.
“Sebentar, ini soal apa sih? Koq jadinya gw yang diwawancara?”
Momentum dan Angka 40
“Gini….
Akhirnya mengalir lah cerita dari sahabat, saudara, dan kakak kelas saya ini. Bagaimana kondisinya, yang menurut dia berada di titik yang paling menyedihkan sepanjang perjalanannya hingga saat ini. Dari sisi keuangan, perjalanan karir, hubungan keluarga, hingga kandasnya impian untuk bisa menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Hingga akhirnya meluncur lah kalimat tanya di awal tadi; gimana caranya bertahan hidup? Tapi kali ini ditambah dengan harapan darinya, bahwa barangkali ini turning point dia setelah menapaki usia 40.
Sabar-Syukur: 2 Sisi Mata Uang untuk Hidup
Rekomendasi Buku untuk Pengusaha di Indonesia: 10 Bacaan Wajib yang Menginspirasi dan Memperkaya Wawasan
Mendengarkan Bisikan Semesta: Membangun Bisnis yang Berkelanjutan dengan “Bahasa Dunia”
Dan seperti biasa, diskusi kami selalu bisa lintas sudut pandang. Karena meski berbeda keyakinan beragama, tapi sahabat saya ini satu dari beberapa teman berbeda keyakinan yang bisa sangat terbuka untuk diskusi perihal sensitive sekalipun tentang perihal agama.
Pertama, kelilingi diri dengan networking yang mendukung untuk bertumbuh. Saya merasa sangat beruntung bahwa bahkan di tempat kerja terakhir mendapatkan akses untuk networking tersebut dan juga kesempatan belajar. Demikian juga setelah resign, saya bersyukur bisa berkenalan dan dikelilingi orang-orang yang memberikan banyak sekali kesempatan dan pembelajaran.
Baik yang lebih senior maupun yang relative lebih muda dari saya, semuanya memberikan hikmah pembelajaran. Saya sering bilang kepada beberapa teman; dari yang muda saya belajar untuk tetap menjaga semangat dan kemauan belajar, dan dari yang muda saya belajar tentang kewaspadaan dan kebijaksanaan.
Kedua, mulai saja dari apa yang sengaja atau tidak sengaja kita berada di ranah itu sekarang. Kami sama-sama orang keuangan secara background pendidikan, kemudian sahabat saya ini mendapat kesempatan untuk mendalami audit di bidang IT. Jadilah itu bridging untuk membuat dia seperti sekarang ini; digital enthusiast. Maka saya minta yang bersangkutan untuk menyusun semacam portfolio yang bisa ditawarkan secara massif terkait digital agency dan layanan turunannya.
Ketiga, syukuri momentum untuk menjadi amunisi agar senantiasa bergerak dan berkembang. Banyak sudah cerita seseorang memulai usaha seolah karena keterpaksaan. Bagi saya itu hanya momentum, yang harus dijaga dan disyukuri.
Karena terkadang seseorang harus berada di tempat yang tidak dikehendaki, untuk dapat membangun kekuatan yang bahkan tidak dia bayangkan untuk dimiliki.
40 dan 3 Arah
Jadi, kembali kepada perihal angka 40 tahun. Sedari diucapkan oleh sahabat saya ini cukup mengundang ketertarikan saya untuk berbincang perihal keistimewaannya. Dikabarkan bahwa angka 40 memang sebuah titik penentu. Jika baik dia di saat berumur 40, maka akan seterusnya baik. Sebaliknya jika saat berumur 40 masih suka akan keburukan, maka hal itu akan menjadi candu yang sulit dihilangkan. Boleh dibilang, umur 40 adalah waktunya manusia kembali kepada fitrahnya. Sebagaimana ditegaskan Khairil Anwar; “Sekali berarti, sudah itu mati”.
Barangkali itulah alasan kenapa usia 40 juga dianggap sebagai usia kematangan, kedewasaan, kemampuan untuk memimpin. Konon, ketika Imam Syafi’i berumur 40 tahun, ia berjalan memakai tongkat. Ketika ditanya hal itu ia berkata,
“Supaya saya selalu ingat bahwa saya adalah seorang musafir.”
Setidaknya ada tiga tanggung jawab yang diemban oleh mereka yang berumur 40+.
Pertama, tanggung jawab ke atas yaitu taat kepada Allah dan Rasulullah, menghormati kedua orang tua dengan ketaatan, kesabaran, finansial dan perhatian.
Kedua, tanggung jawab ke bawah yakni menyayangi dan menguatkan anak-anaknya dengan ilmu, pengarahan, kasih sayang, finansial dan teladan.
Ketiga, tanggung jawab ke samping, yaitu bersinergi dengan mitra hidup, istri/suami, saudara/i, dan tetangga dalam rangka membangun rumah tangga dan kehidupan sosial masyarakat yang rukun, aman dan damai.
Bertahan Lalu Berkembang
Bagi saya, sudah sejak lama saya mengangankan; mau dikenal sebagai apa nanti saya setelah berusia 40 tahun? Lebih sederhananya, dalam bisnis pun seharusnya sudah ada brand yang melekat; Hartanto itu siapa? Expertize field-nya dimana? Atau kalo versi orang lama-nya; fak-nya di bidang apa?
Maka kembali saya mantapkan; saya seorang Business Development Specialist.