Kabut masih membungkus area yang tergolong perbukitan ini. Diatas jalan terjal hampir 45o itu tapak kaki tanpa alas itu sudah menuruni membawa badan dan barang dagangan di bakul yang tertambat diatas punggung yang sengaja dibungkukkan untuk berkompromi dengan gravitasi. Sejatinya masih sangat wajar jika gigi-giginya bersahutan menahan dingin, namun beban dan jarak yang ditempuh memaksa bulir keringat untuk membasahi kening lembutnya. Bulir yang membuat semakin dingin jika terterpa angin.
Di seberang pandang telah nampak kerumunan yang seolah tak menghiraukan dingin sekitar. Ya, pasar tradisional itu telah mulai bertransaksi sejak para jama’ah shubuh mengucap salam, dan Bu Surti menjadi peserta kerumunan yang ‘agak terlambat’ bergabung. Berbekal buah yang telah dipetik sore kemarin, jarak ditempuh dari rumahnya di ujung bukit demi sekedar rupiah untuk membantu perekonomian rumah tangganya yang telah dikaruniai seorang putra yang kini mulai duduk di bangku SD.
Emansipasi, itu selentingan yang sering ia curi dengar di televisi tetangganya, yang juga satu-satunya televisi bersama untuk dua puluh rumah sekitarnya. Makna pastinya Bu Surti tidak tau dan tidak mau tau. Yang ada di benaknya hanyalah bahwa dengan kata itu orang di sekitar semakin “memaklumi” kerja kerasnya setiap pagi dalam menjaga dapurnya tetap ngebul.
Atas nama emansipasi, yang bisa jadi salah arti, berapa banyak Surti-Surti lain yang harus meninggalkan “hobi” masaknya di pagi buta? Atas nama ekonomi, yang juga bisa jadi salah ukuran, berapa banyak anak-anak yang mengalami pembatasan peran IBU yang seharusnya bisa lebih luas?
Sekedar berbagi cerita ringan sembari menemani anak-anak menikmati acara TV kesayangan mereka, menina-bobokkan sang buah hati dengan suara lembut diselingi lantunan lagu, menutup mata mereka dan membukanya kembali keesokan harinya dengan kecup hangat… Terlalu banyak anak-anak yang harus kehilangan keindahan momen-momen itu. Apa yang mereka dapati hanyalah seorang Ibu yang tiap pagi mengecupnya dan mengucap sampai jumpa, untuk kemudian tidak lagi mereka temui sampai kantuk mendera mereka. Siang, sore, dan malam mereka habiskan dengan seorang pembantu/babysitter. Sekali lagi, atas nama emansipasi dan ekonomi, yang bisa jadi salah arti dan salah ukur.
Ibu, betapa sejatinya peran itu begitu sentral. Menjadi pengimbang generasi sekarang (suami) dan memberi tauladan bagi generasi mendatang (anak-anak). Kalau peran itu kemudian harus berkurang, maka mungkin makna yang diperoleh dari emansipasi barulah kemunduran, dan mungkin ekonomi yang diperjuangkan hanyalah takaran untuk kerugian. Karena menjadi istri seutuhnya, dan menjadi ibu seluruhnya, adalah jauh lebih baik.
Menjadi fulltime mom, tetap bisa seiring dengan emansipasi yang diperjuangkan R.A Kartini yang harum namanya. Karena untuk menjadi fulltime mom, harus tetap cerdas dan berpendidikan tinggi. Menjadi fulltime mom, juga tetap bisa harmonis dengan aktivitas keekonomian produktif. Karena zaman tidak hanya memberi tuntutan, tapi juga kemajuan dan kemudahan.
Selamat Hari Ibu.
@hartantoID