Kamisharing

Irit Pangkal Sukses – Sebuah Kunci Berkomunikasi

Dalam perjalanan yang belum seberapa lama sebagai full time entrepreneur, sangat banyak pelajaran dari berbagai aspek dalam menjalaninya. Salah satunya yang ingin saya abadikan dalam tulisan ini adalah tentang bagaimana berkomunikasi dalam bisnis. Lebih tepatnya, tentang bagaimana sebaiknya membawa diri dalam pergaulan bisnis.

Seorang mentor pernah mengingatkan saya;

“Jadilah sebisa mungkin orang yang tidak bisa ditebak langkahnya. Seperti main catur, makin tidak tertebak makin banyak kans memenangkan pertandingan”.

Sementara mentor lainnya sangat saya ingat dengan pelajaran “poker face” nya dalam setiap negosiasi, sehingga hal itu menjadi kunci kemenangan di banyak kesempatan transaksinya.

Jadi, dalam bisnis pun begitu; sebaiknya kita irit bicara akan apa rencana kita. Atau lebih tepatnya, tidak sembarang mengumbar rencana kepada sembarang orang. Apalagi kepada pesaing dan/atau potential competitor.

1/48 Hukum Kekuasaan

Rupanya, nasihat mentor saya itu juga merupakan 1 (satu) dari 48 hukum kekuasaan. Bahwa untuk lebih berkuasa atas setiap keadaan, menjadi irit bicara adalah salah satu kuncinya. Lebih gamblang dicontohkan dalam kisah ini.

Kisah Gnaeus Marcius (Coriolanus) si Pembual Besar

Gnaeus Marcius, juga dikenal sebagai Coriolanus, adalah seorang pahlawan militer besar di Roma kuno. Dia menenangkan banyak peperangan terkenal dan menyelamatkan kota itu dari bencana berkali-kali. Karena ia menghabiskan sebagian besar waktunya di medan perang, hanya sedikit penduduk Roma yang mengenalnya secara pribadi, jadi ia menjadi semacam tokoh legendaris.

kunci berkomunikasi 1

Pada tahun 454 Sebelum Masehi, Coriolanus memutuskan bahwa sudah tiba saatnya untuk memanfaatkan reputasinya dan memasuki dunia politik, mendaftarkan diri pada pemilihan konsulat tingkat tertinggi.

Pidato Kampanye

Kandidat-kandidat lain yang memperebutkan posisi ini biasanya menyampaikan pidato di hadapan publik pada awal masa kampanye, dan ketika Coriolanus berpidato di hadapan rakyat, ia memulai pidatonya dengan menunjukkan lusinan parut yang ia kumpulkan selama tujuh belas tahun berperang bagi Roma.

Hanya ada sedikit sekali penonton yang benar-benar menyimak pidato panjang yang ia sampaikan kemudian; parut-parut itu, bukti keberanian dan patriotismenya, menggugah hati rakyat hingga mereka menangis. Terpilihnya Coriolanus sebagai konsulat tampaknya sudah pasti terjadi.

Namun demikian, ketika hari pemilihan tiba, Coriolanus masuk ke forum diantar oleh seluruh anggota senat dan oleh golongan ningrat atau bangsawan di kota itu. Rakyat jelata yang melihat kejadian itu terusik oleh pameran kepercayaan diri yang amat blak-blakan seperti itu pada hari pemilihan.

Kemudian Coriolanus berpidato lagi, terutama kepada para warga kaya-raya yang telah menemani- nya. Kata-katanya arogan dan kurang ajar. Dengan menyatakan kemenangan tertentu atas suara yang ia terima.

Pembual yang Besar

Ia membual tentang prestasinya perolehan suara yang ia terima, ia membual tentang prestasinya di medan perang, melontarkan lelucon tidak lucu yang hanya menarik bagi kaum bangsawan, dan mengungkapkan tudingan-tudingan bernada marah kepada lawan-lawannya. Serta berspekulasi tentang kekayaan yang akan ia berikan kepada rakyat Roma.

Kali ini rakyat menyimak pidatonya: Mereka tidak sadar bahwa tentara legendaris ini juga seorang pembual besar.

Berita tentang pidato kedua Coriolanus tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok Roma, dan berbondong-bondong rakyat hadir untuk memastikan agar ia tidak terpilih. Setelah kalah, Coriolanus kembali ke medan perang dalam kondisi sakit hati dan bersumpah akan membalas dendam kepada rakyat jelata yang tidak memilihnya.

Beberapa minggu kemudian, kiriman biji-bijian yang berjumlah besar tiba di Roma. Senat siap membagikan makanan ini kepada rakyat, tetapi tepat saat mereka bersiap-siap memberikan suara tentang persoalan tersebut, Coriolanus muncul di sana dan berpidato di hadapan mereka.

Ia mengatakan bahwa pembagian makanan itu akan memberi dampak yang merugikan terhadap kota itu secara keseluruhan. Beberapa senator tampaknya percaya padanya, jadi pemberian suara terhadap pembagian makanan itu ditangguhkan.

Coriolanus tidak berhenti di situ: Ia melanjutkan pidatonya dan mengutuk konsep demokrasi. Ia menasihati mereka agar menyingkirkan wakil rakyat – para pejabat – dan memberikan tampuk kepemimpinan kota kepada kaum bangsawan.

Pengusiran

Ketika kabar tentang pidato terbaru Coriolanus terdengar oleh rakyat, amarah mereka tidak terbendung lagi. Para pejabat dikirimkan ke senat untuk menuntut agar Coriolanus menghadap mereka. Coriolanus menolak.

Kericuhan terjadi di seluruh pelosok kota. Senat yang merasa takut akan amarah rakyat akhirnya memilih menyetujui pembagian biji-bijian itu. Para pejabat kota itu pun tenang namun rakyat tetap menuntut agar Coriolanus menghadap mereka dan meminta maaf. Jika Coriolanus bertobat dan setuju menyimpan pendapatnya di dalam hatinya sendiri, ia dizinkan kembali ke medan perang.

Coriolanus memang muncul untuk terakhir kalinya di hadapan rakyat yang menyimaknya dengan penuh perhatian. Coriolanus mulai berpidato dengan lambat dan halus, tetapi semakin lama ia semakin terang-terangan. Ia melontarkan hinaan lagi! Nada suaranya arogan dan mimiknya menunjukkan perasaan jijiknya. Semakin lama ia bicara, semakin marah rakyat. Akhirnya mereka meneriakinya agar turun dan membungkamnya.

Para pejabat kota berunding, menjatuhi hukuman mati kepada Coriolanus, dan memerintahkan para hakim untuk segera membawanya ke puncak batu karang Tarpeian dan melemparkannya ke bawah. Gerombolan massa yang girang mendukung keputusan itu.

Namun demikian, kaum bangsawan berhasil turun tangan dan keputusan itu diubah menjadi pengasingan seumur hidup. Ketika rakyat tahu bahwa pahlawan militer besar Roma tidak akan pernah kembali ke kota itu, mereka merayakannya di jalanan. Sesungguhnya, tidak ada seorang pun yang pernah melihat perayaan semeriah itu, bahkan setelah tentara mereka mengalahkan musuh asing.

Kesimpulan – Tentang Berkomunikasi dalam Bisnis

Pada akhirnya dalam konteks ini benarlah jika kita berpegangan pada pepatah; irit bukan tanda tak mampu. Justru irit bicara adalah tanda kemampuan menahan diri. Irit dalam konteks ini justru adalah tanda akan mampu menguasai permainan. Maka barangkali penting untuk menutup sharing kali ini dengan sebuah cerita hikmah dari seorang Leonardo.

“Kerang terbuka saat bulan purnama; dan ketika kepiting melihat seekor kerang yang terbuka, ia melemparkan sebutir batu atau ganggang laut ke dalamnya supaya si kerang tak bisa menutup lagi, jadi si kepiting bisa menyantap dagingnya. Begitulah nasib orang yang terlalu sering memuka mulutnya dan menempatkan dirinya pada belas kasihan pendengarnya.”

(Leonardo da Vinci, 1452-1519)

Leave a Reply