Siang ini terasa sangat terik di kota ini, 39oC tapi terasa “gemrojos”. Ruteku siang ini masih sama, jemput istri di salah satu pusat kesehatan masyarakat, terus pulang untuk makan siang bersama, sebuah rutinitas yang tak pernah terasa membosankan.
Dalam kendaraan sembari nunggu “bell” pulang istri, panas semakin terasa, bahkan piranti pendingin pun seperti tak mampu membendung tatapan tajam mentari atas bumi siang ini. Lepuh rasanya kalau harus bertahan dalam kaleng bermesin ini, akhirnya kuputuskan untuk keluar sambil ngaso mencari udara segar.
“Panas ya Nak ?” tiba-tiba suara itu terasa sangat akrab. Seorang bapak kira-kira seusia ayahku, lengkap dengan gerobak dorongannya yang ternyata juga masih menepi dari teriknya mentari siang ini. Seketika teringat ayah yang juga berprofesi sama dengan beliau, pedagang keliling. Tak jelas keringat atau tepatnya peluh menetes mengiringi parau jawabku: “Iya Pak”. Dan, tanpa pikir panjang aku pesan seporsi bakwan malang yang kulihat masih penuh di gerobaknya.
Ya, mendadak kangen ayahku. Meski sejak lulus sekolah kejuruan aku terbiasa merantau jauh dari beliau, namun tak pernah henti aku selalu merasa kangen. Terlebih pada saat seperti ini, dengan melihat rekan-rekan seprofesi beliau, rasanya sangat merindu.
Mungkin siang ini ayahku juga masih menepi dari sengatan mentari. Biasanya beliau membasuh setiap peluhnya dimana saja beliau temui surau atau masjid sembari menghadap-Nya. Meski beliau selalu bilang lebih menikmati dhzuhur di musholla dekat rumah, namun rekor itu jarang tercapai. Biasanya dagangan beliau masih terlalu banyak kalau harus dibawa pulang, alhasil yang sering beliau capai hanya sholat ashar di musholla dekat rumah kami.
Bagi ayah dan teman-temannya, tak ada pilihan lain kecuali tetap menggendong/mengayuh/mendorong gerobak dagangannya meski dalam jilatan tajam terik matahari. Itu semua mereka nikmati sambil menjajakan dengan suara parau barang dagangannya. Berharap di setiap pintu yang mereka ketuk dengan teriakan terendam keringat mereka, ada potential buyer atas dagangan mereka.
Pernah suatu hari, ayah pulang di tengah hari dengan dagangan hampir utuh, dan gerobak rusak akibat tersenggol mobil. Alhasil, beliau harus dirawat karena luka lecet dan dagangannya pun kami nikmati sekeluarga, pun setelah kami bagi dengan tetangga sekitar. “Tak mengapa, besok masih ada hari untuk berjualan lagi” begitu ucap ayah lirih sambil menahan perih obat yang kuoleskan di lukanya. Bagi ayah, berusaha setiap hari adalah jihad yang sesungguhnya. Apapun beliau pertaruhkan untuk dapat menghidupi kami sekeluarga dengan rizqi yang halal dan barokah.
Selepas menikmati bakwan malang ini aku langsung telpon ayah. Beliau alhamdulillah sudah dirumah, memang sengaja bawa sedikit barang dagangan agar cepat pulang, karena sore ini beliau harus melihat sawah yang baru saja ditanami benih tadi pagi.
-amru nofhart-