Sejenak saya ingat satu scene di serial Avatar, ada pesan yang coba disampaikan disana bahwa kita semua sesungguhnya satu asal, namun tersebar ke seluruh penjuru dunia sehingga membuat kita beragam. Dan, karena satu asal itu pula, sesungguhnya kita semua terhubung dan terkait satu sama lain.
Kembali kepada ajaran ngaji pada Ustadz semasa kecil saya, bahwa sesungguhnya manusia diciptakan dari hanya seorang Nabi Adam, kemudian darinya dicipta Siti Hawa, untuk kemudian keduanya ber-keturunan dan menyebar ke seluruh penjuru bumi hingga saat ini. Sesungguhnya ada kesamaan pesan disini, bahwa kita bersaudara.
Signifikansi perbedaan inilah yang kemudian menjadi beragam. Ada satu hal kecil menurut seseorang namun itu seolah klimaks buat orang lain. Ada perihal yang ‘terampuni’ buat si A namun seolah ‘fatal’ dalam pandangan si B. Tapi, benarkah bisa demikian berbeda? Bukankah kita berawal dari satu asal dan saling terkait? Bukankah seharusnya kita punya satu standar? Bukankah standar itu yang seharusnya menjadi ‘ikatan’ yang menunjukkan bahwa kita satu asal? Karena seharusnya perbedaan mampu membawa berkah.
Ada kisah yang bisa saya bagi mengenai hal ini.
Dulu, Agustus 2002 sore hari, selembar surat panggilan tes kepesertaan beasiswa datang terlambat 1 bulan ke tangan seorang anak lulusan SMK yg di pagi harinya, di hari ke-15 dia bekerja, baru saja di-PHK dari jabatannya sebagai kuli bangunan karena proyek hampir selesai dan biaya personel harus dikurangi. Keterlambatan ini karena pihak desa menelantarkan surat tersebut di baki dokumen, karena tidak ada petugas khusus pengantar surat ke rumah-rumah sebagaimana di kota, dan karena menurut petinggi dusun paling surat itu isinya hal remeh seputar sekolah si anak. Walhasil, si anak dengan mulut gemetar “memerintahkan” pihak Balai Desa untuk membuat semacam pernyataan bersalah dan permohonan agar panggilan test bagi si anak dapat diproses ulang. Dengan berang sang kepala desa teriak sembari menggebrak meja kerjanya; “Kamu mau menurunkan saya dari jabatan kepala desa?!”…. Dan, tidak sampai dua detik anak itu terdiam, lalu dengan tangan kecilnya menggebrak meja yang sama dan teriak; “Kalau ya kenapa? Tokh Bapak masih punya pekerjaan lain, sedangkan saya pengangguran sekarang?!” Singkat kata, sang kepala desa bersedia membuat surat tersebut, dan si anak alhamdulillah bisa lolos seleksi beasiswa tersebut. Namun malang bagi Bapak Kepala Desa, dia keburu dipaksa mundur oleh warganya karena insiden tersebut.
Di situlah segenap faktor latar belakang mengambil peran. Urgensi suatu masalah bagi setiap kepala tentu berbeda, sehingga tak jarang tanggapan dan penanganan atas suatu hal menjadi sangat berbeda antara yang terjadi dengan yang diharapkan, sehingga tak jarang terjadi pertentangan.
Ngomong-ngomong, seberapa penting urgensi surat si Udin sehingga langsung dibalas oleh Mr. President ?
-amru nofhart-