Adakah pernah terpikir oleh kita bahwa sabar adalah kata kerja paling menyebalkan? Bahkan tak jarang mendengarnya pun langsung mengundang reaksi berlebih untuk segera menyudahi dengan pertanyaan balik; “mau sampai kapan?”; bahkan oleh orang yang dahulu telah terbukti kesabarannya sekalipun.
Sabar menjadi trending topic bagi siapa saja yang dalam episode hidupnya saat ini sedang dalam babak cobaan dan/atau ujian. Bagi setiap mata yang hanya bisa memandang tanpa bisa terpejam meski hanya sejenak untuk bisa membayangkan untuk bisa memiliki sesuatu dalam pandangan itu. Bagi setiap tangan yang hanya bisa tergenggam mengeras tanpa bisa melaju semau nafsu untuk meluluhlantakkan segenap apa yang menjadi penghalang di depannya. Bagi kaki-kaki yang terbelenggu untuk melangkah tanpa berani untuk meneruskan keteguhan hati dalam mewujudkan setiap rencana menjadi nyata. Sabar, bisa jadi merupakan “penyebab” bagi setiap keterkekangan tadi.
Pertanyaannya terkadang – kalau tidak mau disebut selalu- adalah sudah tepatkah sabar kita? Tepat guna, tepat waktu, tepat takarannya? Ataukah sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak perlu ada dalam konteks sabar?
Bisa dibilang, sesungguhnya kalau sabar itu dalam track yang benar maka tidak akan pernah ada pertanyaan-pertanyaan itu. Sebagaimana tawakkal adalah jawaban setelah ikhtiar yang nyata. Selaku khusyu’ menjadi pamungkas atas sholat yang benar. Maka sabar yang sesuai garis tuntunan-Nya akan berakhir pada ikhlas.
Seorang sahabat mendadak saya rindukan pagi ini. Terdorong atas perasaan tak biasa itu saya coba hubungi lewat telpon. Setelah basa-basi biasa, tanpa dinyana beliau bercerita panjang lebar mengenai “bencana demi bencana” yang sedang beliau alami. Kebangkrutan usahanya, keterseokan rumah tangganya yang diakibatkan karenanya, hingga kedua anaknya yang terpaksa harus resign dari sekolahnya karena tunggakan bayaran yang tak kunjung bisa dipenuhi oleh sang ayah, sahabat saya ini. Pungkasan dari ceritanya ini sungguh mengejutkan saya, beliau bertanya; “sesungguhnya apa maunya Gusti Allah atas saya?” Kontan saja yang terlontar dari saya adalah resep sabar. Namun yang terdengar berikutnya justru dia makin menjadi dalam maki hidupnya, na’udzubillah.
Setelah semua mereda, kami berdua bersama-sama mengingat, bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah menguji hamba-Nya melebihi kemampuannya, sesungguhnya Dia adalah sesuai sangkaan kita pada-Nya, dan sesungguhnya setiap ujian adalah demi kita agar menjadi lebih baik.
Dalam tiga kalimat itulah, kami temui optimisme karena pasti kita diberi ujian sepaket dengan kemampuan untuk melampauinya, kami dapati bahwa pasti setiap garis hidup darinya adalah yang terbaik untuk kita, dan sungguh, kami sadari bahwa hanya dengan melalui setiap ujian dengan ikhtiar berujung tawakkal, sholat dalam capaian khusyu’, dan sabar hingga ujung keikhlasan, semuanya tentu akan menjadikan kita lebih baik.
Coba periksa garis-garis tangan kita, bayangkan sebagai garis-garis kehidupan kita, lalu kepalkan tangan kita. Bukankah tak seorang pun mampu menggenggam utuh kehidupannya?
-amru nofhart-