Kamisharing

Di Persimpangan Antara

1
Pagi iringi setiap langkah menjejak bumi guna meraih sebentuk mimpi bagi setiap makhluk insani. Tak sadar kaki-kaki kita membentuk nada selayaknya intro dari sebuah koor besar setiap hari. Hanya ada sejenak jeda sebelum akhirnya kembali lagu dari setiap kita dimainkan. Tidak ada yang berubah, hanya saja sebagai kesatuan lagu kita terkadang bertukar nada dengan instrumen lainnya agar harmoni tercipta.

Begitulah setiap pagi mengawali sebagai intro. Kehidupan tak pernah berhenti menyanyikan lagunya, tinggal siapa yang “dapat giliran” untuk memainkan nada tinggi di suatu hari dan merubah intonasi merendah di hari berikutnya. Setiap kita adalah bagian dari harmoni.

Lantas, adakah jeda/antara dalam memainkannya? Tentu, setiap kita juga pernah mengalami seolah setiap nada yang kita mainkan menjadi sumbang, parau, dan bahkan sulit terdengar. Itulah jeda dimana seharusnya kita menekan tombol “mute” dengan deskripsi “instrospeksi”. Sesederhana itulah kita berjama’ah; ketika setiap yang kita lakukan selalu salah dimata orang lain disekitar kita sementara kita merasa telah mengambil tindakan yang tepat, maka berhentilah memajukan “aku” dan mulailah “introspeksi”. Dan, jangan berhenti melakukannya sampai kita selaras selaku jama’ah.

Karena kita terlahir tak sendirian. Sudah terlebih dahulu ada Ibu yang mengandung kita selama 9 bulan, beliau tak pernah berhenti mengerti kita bahkan jika harus mengorbankan nyawanya untuk melahirkan kita sebagai “nyawa” baru baginya. Telah terlebih dahulu ada ayah kita yang tak henti menjaga kita dengan segenap keras sebagai penyeimbang kelembutan yang kita tuai dari seorang Ibu. Telah terlebih dahulu ada orang-orang yang lebih tua dari kita, yang kita tidak bisa jumawa atas pengalamannya dalam menghirup udara dan menapaki bumi ini. Sudah terlebih dahulu ada anggota jama’ah lainnya yang menerima kita dengan lapang sebagai bagian baru sebuah harmoni. Maka maknailah semuanya dengan syukur tiada henti, menjaga tempo dan harmonisasi, agar lagu yang kita mainkan tidak pernah terhenti mewarnai hari.

Lalu bagaimana mengembalikan segenap harmoni itu? Mudah saja, gunakan garpu tala, jangan suara anda. Ambil nada standar A minor, jangan tertipu dengan C major yang terlalu sering terdengar sama.

Ketika kita merasa salah jalan, maka gunakan Al-Qur’an dan Sunnah Rosul sebagai media penunjuk arah kita. Jika jama’ah lainnya merasa terganggu dengan ulah kita, maka kembalikan kepada hakikat berjama’ah sesuai kedua tala tersebut. Sehingga kita tidak berlama-lama berkubang dalam keterasingan. Percaya dan yakin bahwa kita dalam kuasa-Nya, itulah kunci ketepatan dan kecepatan introspeksi. Soal hati, percayakan pada Yang Maha Membolak-balikkan Hati, Allah Ya Muqollibul Qulub.

Jika kita merasa terasing, dan merasa bisa kembali bergabung dengan jama’ah dengan membawa congkak atas segenap capaian, tentu itu adalah layaknya C Major yang tertukar dengan A Minor. Bukan materi yang dikedepankan dalam harmoni ini. Karena dengan materi kita tak jarang bisa merasa hidup tanpa yang lainnya. Dengan capaian benda kita terlalu sering merasa mampu mengungguli satu sama lain, dan merasa bahwa si fulan tak berhak berada dalam hidup kita dan si anu lebih ideal. Dengan materi, sesungguhnya kita diuji apakah kita menjadikannya alat, atau justru kita diperalat. Dan, apabila itu yang terjadi maka proses selanjutnya yang akan mendera adalah rakus yang tiada henti menggoda. Akan selalu terasa ada yang bisa mengungguli kita secara materi, dan itu membuat kita “tergila-gila” untuk mengunggulinya kembali. Pada saat itulah, kita sudah terkena hubbud dunia, dan takut mati. Na’udzubillah.

Kesombongan, sungguh suatu wujud yang sulit diruntuhkan bahkan dengan api yang menghitam. Hanya shaum yang bisa melalapnya habis, mengikisnya tanpa bekas. Untuk itulah Ramadhan itu hadir, sebagai bulan dimana bahkan setiap hembus nafas kita mawujud sebagai ibadah. Dalam Ramadhan kita bersihkan tidak hanya badan, bukan sebatas hati, namun juga meliputi ruh kita tersucikan.

Marhaban Ya Ramadhan. Inilah waktu yang paling baik untuk kita ber-introspeksi, selaku pribadi, sebagai anggota keluarga, sebagai bagian dari suatu harmoni. Waktu terbaik untuk kita menunaikan segenap kalibrasi dalam segenap dimensi hidup kita. Sehingga mampu didapati lagi harmoni, dalam setiap jejak langkah kita, dalam setiap nada yang kita titi bersama.

Selamat datang Bulan Seribu Bulan, semoga kita semua terpanggil dalam tempaannya, semoga kita semua tertera dalam golongan taqwa.

-amru nofhart-

Leave a Reply