“Pakai nota nggak mas?” sering saya ditanya seperti itu saat mengisi BBM di beberapa SPBU dalam beberapa kesempatan. Awalnya saya anggap itu biasa saja, bahkan beberapa kali saat istri bertanya kenapa kita ditanya seperti itu saya jawab (setengah asal) bahwa itu adalah SOP (Standard Operating Procedures) si Mas atau Mbak petugas SPBU. Padahal, sembari menjawab saya pun sebenarnya bepikir, kalau itu SOP kenapa tidak semua ditanyai hal serupa? terutama pengendara sepeda motor.
Pun pada saat saya berperjalanan dinas, seringkali driver saya harus meminta struk bukti bayar, kalau tidak bisa-bisa kita melenggang tanpa nota dan akhirnya nggak bisa reimburse ke kantor, tekor dah.
Suatu Hari Tentang Pakai Nota Nggak Mas
Tibalah tadi siang pada saat saya dapat traktiran temen untuk late lunch bersama. Saat membahas “tampang” dan kaitannya dengan posisi dalam menghadapi pelanggan bisnis masing-masing.
Timbul sebuah celetukan ; “kalo saya isi bensin aja sering ditanya; pake nota nggak mas?, padahal kan itu mobil saya sendiri?” Begitu polos teman saya berucap dan ditanggapi tawa renyah teman lainnya, termasuk saya setelah sekian detik agak telmi.
Timbul sebuah celetukan ; “kalo saya isi bensin aja sering ditanya; pake nota nggak mas?, padahal kan itu mobil saya sendiri?” Begitu polos teman saya berucap dan ditanggapi tawa renyah teman lainnya, termasuk saya setelah sekian detik agak telmi.
Jadi selama ini???
Saya dianggap supir saat isi bensin mobil dengan istri saya di sebelah saya? Apakah tampang saya kurang meyakinkan untuk punya mobil setidaknya meskipun cicilan?
Terus, kenapa waktu perjalanan dinas saya nggak nyetir dan driver kantor yang tinggi gede itu kudu minta struk? Apakah kalo yang nyetir saya dan si driver jadi penumpang, kemudian saya ditawarin juga: pake nota nggak mas?
Jadi???
Jadi???
Nggak-nggak-nggak….pasti ada yang salah…mungkin karena kebiasaan saya kalo isi bensin pasti turun dan ngajak Mbak atau Mas nya ngobrol. Saya sih berniat untuk lebih “nguwongake” sembari nantinya membayar dengan tangan kanan saya.
Sederhana saja sih alasannya, karena lubang tangki bensin berada di sisi kiri maka kalau saya tidak turun terpaksa akan kerepotan membayar dari bangku setir saya. Rupanya, menjadi sopan tidak serta merta mendapat apresiasi ya? Atau kesopanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang dengan tampang kurang meyakinkan, setidaknya untuk memiliki sebuah mobil? hehehe…
Sederhana saja sih alasannya, karena lubang tangki bensin berada di sisi kiri maka kalau saya tidak turun terpaksa akan kerepotan membayar dari bangku setir saya. Rupanya, menjadi sopan tidak serta merta mendapat apresiasi ya? Atau kesopanan hanya diperuntukkan bagi orang-orang dengan tampang kurang meyakinkan, setidaknya untuk memiliki sebuah mobil? hehehe…
Yang pasti, hari ini saya menjadi sadar bahwa ada unsur “guyon” dalam setiap tawaran dari Mas atau Mbak petugas SPBU; pakai nota nggak mas? Tanpa saya berpikir untuk mengubah kebiasaan untuk turun dalam setiap kesempatan isi bensin.
Nilai lebihnya sekarang, saya bisa menambahkan lebih banyak senyum pada saat menjawab tawaran tersebut: nggak usah Mas/Mbak, makasih.
Kembali saya harus mengingat, bahwa akan jauh lebih baik kalau kita dianggap lebih rendah dari sejatinya kita (setidaknya dalam hitungan kita sendiri ya), daripada kita dianggap lebih tinggi dari kondisi kita semestinya.
Terlebih dalam hal duniawi seperti kaya, berkedudukan tinggi, berpendidikan tinggi, dan lain sebagainya. Sementara dalam hal ibadah pun, menurut saya, akan jauh lebih melegakan apabila kita dijauhkan dari anggapan lebih alim dari orang lain. Bukankah bebannya akan jadi lebih berat?
Dalam hal duniawi saja, akan sangat menyiksa manakala kita dilabeli terlalu tinggi dari nilai kita sesungguhnya. Akibatnya minimal kita jadi susah cari utangan ke teman :p Belum lagi kalau kemudian kita terbawa gaya hidup sebagaimana label yang diberikan lingkungan sekitar kita. Baju harus top branded, makan di restoran mahal, dan sebagainya.
Apalagi dalam hal ibadah, sangat berbahaya kalau kita dianggap lebih alim dari sejatinya kita. Gampang sekali bisikan syetan menjadi menyesatkan kita. Paling sederhananya, setiap amalan yang coba kita lakukan menjadi berbumbu riya, na’udhzubillah min dzalik.
Belum lagi kalau kemudian kita terbawa nafsu untuk kemudian memiliki semangat menggurui dengan pemahaman yang minim, alhasil kita tidak hanya tersesat seorang diri tapi juga menyesatkan orang lain.
Belum lagi kalau kemudian kita terbawa nafsu untuk kemudian memiliki semangat menggurui dengan pemahaman yang minim, alhasil kita tidak hanya tersesat seorang diri tapi juga menyesatkan orang lain.
Jadi, mulai sekarang saya akan lebih menikmati setiap kali Mas atau Mbaknya menawarkan: “Pakai nota nggak Mas?” Bagaimana dengan kalian teman-teman?
@hartantoID