Independence, sebuah kata sarat makna akan kemandirian, symbol kemajuan yang harus dicapai dengan penuh perjuangan, menentang arus untuk bisa membuktikan bahwa dengan kemandirian akan tetap bisa muncul kreasi penuh idealisme dan kokoh pendirian.
Zaman sendiri sekarang ini telah menyeret segenap kemandirian hampir menjadi kemustahilan, hampir di semua lini kehidupan. Semua langkah sekarang ini seolah telah ter-skenario oleh mainstream, yang sebenarnya kadang membingungkan mana yang sebab dan mana yang akibat.
Lihatlah betapa mudah sekarang ini produk tak ada lagi yang mampu membawa kesegaran melebihi sepoi angin di pagi hari, seolah hanya seperti embun yang hanya mampu sekedar bertahan untuk tidak lagi tampak setelah ada sengatan matahari pagi yang seyogyanya hanya sekedar hangat. Dan, hal ini hampir terjadi di semua jenis industri, di semua produk pemikiran.
Belum lagi kalau kita menengok pada beberapa korban yang terombang-ambing dalam arus tak jelas ini. Seseorang pernah mengatakan; bukankah yang terbawa arus itu hanya kotoran dan sampah?
Perlu banyak sekali tenaga dan usaha untuk keluar dari “keteraturan” ini. Bahwa matahari akan selalu terbit setelah tenggelam adalah pasti, namun bukankah juga suatu kepastian bahwa setiap hari adalah ciptaan yang baru?
Dalam semangat inilah, seharusnya setiap kita bisa meng-optimal-kan segenap volume otak kita untuk bisa berkreasi, merombak segenap keterkekangan pola pikir kita.
Dari semangat ini pula kita harusnya yakin bahwa setiap kita punya kemampuan untuk dapat mencapai batas optimal peran kita di dunia ini, yaitu sebagai khalifah.
Bayangkan bahwa seandainya kita punya modal waktu, katakanlah, 65 tahun untuk hidup dan berkarya, seberapa besar optimalisasi kita atas modal tersebut kalau kita tidak bisa menjaga semangat berkarya sampai 50 tahun, misalnya?
Bayangkan bahwa seandainya kita ditakdirkan, katakanlah, mampu menjadi seorang pengusaha sukses, seberapa besar optimalisasi kita atas takdir tersebut kalau kita hanya mau menjadi buruh di toko orang dan merasa sesekali menikmati akan hal tersebut?
Saya pikir, disinilah makna; Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga kaum itu sendiri merubahnya.
Dalam kaitannya dengan segenap kondisi yang terjadi sekarang ini; dengan lagu2 yang cenderung seragam hanya untuk masuk di media, dengan barang2 produksi yang kalo tidak branded seolah tidak layak pakai, dengan pemikiran selalu belum mampu men-sikapi perbedaan secara proporsional sebagai berkah, tentu perlu perjuangan keras untuk bisa keluar dari ke-terkungkung-an tersebut.
So, let’s build your own “doku ritsu”!!!!!
-amru nofhart-