Kamisharing

Cerita Pitching

“Mas, kita ketemu calon investor nih. Dampingin buat pitching ya.”

Sebuah pesan masuk dari #rekantumbuh nun jauh di sana. Saya senang, setiap kali ada kabar semacam ini. Bagi saya, artinya ada kesempatan yang terbuka. Saya meyakini bahwa kesempatan itu tidak datang dengan sendirinya melainkan diburu oleh rekan-rekan saya.

“Oke Mas, jadi apa yang bisa saya bantu?” tanya saya secara antusias.

Value to Put On the Table

Saya selalu menganalogikan bahwa bagaimanapun juga ini adalah jual-beli. Hanya saja obyek yang diperjual-belikan adalah berupa kepemilikan perusahaan. Maka sebagaimana jual-beli pada umumnya, nilai transaksi adalah kesepakatan yang harus dicapai di awal.

“Berapa nilai yang akan ditawarkan Mas?” tanya saya yang kemudian dijawab dengan bisik-bisik oleh rekan saya ini. “Apakah ada ruang negosiasi yang cukup?” tanya saya lagi, yang kali ini juga dijawab dengan bisik-bisik.

“Sebentar, valuasi perusahaan sudah disampaikan?” nah, kalo yang ini dia jawab dengan suara lantang; “ya karena itulah saya kontak Mas Tan”

Nah, gini nih. Ini ibarat mau ngelamar tapi tidak ada yang ngomong duluan. Saling nggak enak, atau entah karena apa, yang ada pembicaraan berapa kali pun jadinya stagnan dan tidak ada progress. Karenanya saya selalu mengatakan bahwa nilai perusahaan yang akan dijual harus disampaikan di awal, karena itulah dasar transaksi dan kesepakatan-kesepakatan berikutnya.

Sebagai contoh sebuah usaha rintisan yang sudah beroperasi 5 (lima) tahun, dan berencana untuk menjual 25% kepemilikannya kepada investor untuk tujuan ekspansi cakupan usaha. Maka semua akan mandeg kalo tidak bisa dijawab berapa nilai perusahaan yang akan dijual? Sehingga 25%-nya itu berapa nilainya? Sehingga investor bisa memutuskan fase-fase negosiasi berikutnya.

Tentang Pitching: Ruang Negosiasi Non-Teknis

“Oke Mas, kalo itu udah deh saya pasrah aja sama njenengan. Nah, setelahnya ngapain?” tanya rekan tumbuh saya ini.

“Ya tinggal tawar-menawar lah, situ kan yang punya perusahaan?”jawab saya sekenanya.

Sebenarnya ya tidak terlalu sekenanya juga, karena tokh esensinya memang begitu. Sekali nilai sudah ditetapkan dan disampaikan kepada calon investor, berikutnya ya harus dibuka ruang untuk negosiasi. Karena tentu investor punya sudut pandang sendiri tentang nilai perusahaan yang akan dia akuisisi. Background dan juga karakter bisnis si investor juga sangat berpengaruh.

Sebagai contoh seperti halnya yang pernah saya alami, seorang investor yang biasa main property barangkali akan susah untuk relevan dengan bisnis digital. Coba saja bayangkan, dengan uang puluhan milyar di dunia digital bisa jadi hanya untuk pembelian cloud dan berbagai infrastrukturnya.

Sedangkan dengan angka yang sama dia sudah bisa membebaskan lahan sekian luas yang jika didiamkan beberapa masa sudah terlihat capital gain-nya.

tentang pitching dan belajar

Be Positive, Always Learning

“Kalo ditolak gimana Mas?” tanya rekan tumbuh saya kali ini.

“Ya gapapa, sebaliknya kalo diterima gimana?” tanya saya sebaliknya.

Satu hal yang saya selalu pegang adalah bahwa dalam bisnis tidak ada kata gagal sebagai lawan berhasil. Yang ada hanya kata belajar untuk sebuah keberhasilan yang belum didapatkan. Begitu juga dalam fase negosiasi investasi, mindset pembelajar ini sangat membantu untuk mendapatkan energi positif bagi para penjaja ide dan/atau usaha.

Dalam perjalanan puluhan kali pitching yang saya alami, mindset itu sangat membantu. Karena kita tidak bisa mengatur respon orang atas setiap paparan kita. Yang bisa kita kendalikan justru respon kita atas setiap tanggapan dari calon investor.

Maka di sinilah pentingnya mindset pembelajar itu tadi, bahwa apapun tanggapan investor akan menjadi pembelajaran bagi kita untuk memperbaiki materi pitching kita sebelumnya.

Dari mindset itulah, kemudian berbagai macam pengayaan justru akan didapat dari waktu ke waktu. Hal ini menjadikan materi pitching kita semakin baik dan pada akhirnya pada momentum yang tepat akan menemukan partner sinerginya yang setara.

“Jadi, maju aja dulu nih Mas? Saya bingung nih mau kemana selanjutnya kalo yang ini gagal?” kata rekan tumbuh saya ini setengah mendengus.

Kali ini benar-benar saya jawab sekenanya;

“Wong kejadian aja belum koq bingung? Bingung itu kalo udah ada pilihan Masbro?!”

Leave a Reply